REFIL (Review Film) : IP MAN 4
Sejak film perdananya pada 2008 lalu hingga Ip Man 4: The
Finale selaku penutup, Ip Man (Donnie Yen) bak manusia sempurna. Tidak
terkalahkan dalam pertarungan, berhati mulia, sosoknya pun mendekati deus
ex machina yang kehadirannya bagai jaminan terselesaikannya masalah
apa saja. Tapi dalam film seri garapan Wilson Yip ini, elemen yang biasanya
dianggap kekurangan tersebut malah disulap jadi keunggulan. Ip Man adalah
jagoan yang mampu membuat penonton berdiri di belakangnya, sebab perjuangannya
selalu didasari kepedulian, baik kepada orang-orang terdekat yang ia cintai
maupun para korban ketidakadilan.
Semenjak kematian sang istri yang selalu jadi alasan
perjuangannya, Ip Man didiagnosis menderita kanker tenggorokan. Di tengah
keterbatasan waktunya, Ip masih harus mengurusi putera keduanya, Ip Ching (Ye
He), yang memberontak, dikeluarkan dari sekolah, dan melawan segala perintah
sang ayah. Dia menolak bersekolah, ingin total menekuni martial
arts. Ip Man menentang itu, lalu memilih mencarikan sekolah baru di
San Francisco, Amerika Serikat, dengan bantuan Bruce Lee (Danny Chan), muridnya
yang mempopulerkan Wing Chun di sana.
Sejak menampilkan Mike Tyson di Ip Man 3, kita tahu
seri ini sudah semakin gamblang menanggalkan sampul biografi untuk
berkonsentrasi menyajikan laga-laga bela diri segila mungkin. Pola itu
dilanjutkan, di mana film keempatnya bahkan berani menyentuh ranah fan
service guna memuaskan ekspektasi penonton, dengan memberi porsi lebih
besar kepada Bruce Lee. Danny Chan mampu mereproduksi berbagai ciri sang
legenda, mulai dari arogansi, teriakan khas, hingga gestur sewaktu beradu
jurus, termasuk one inch punch yang terlihat meyakinkan.
Ditulis naskahnya oleh empat nama, termasuk Edmond Wong dan
Tai-lee Chan yang terlibat sejak film perdana, Ip Man 4: The
Finale sejatinya memiliki alur sarat simplifikasi, bahkan cenderung
konyol yang mengingatkan akan film-film kelas b. Agar puteranya bisa bersekolah
di San Francisco, Ip mesti mendapat surat rekomendasi dari ketua Chinese
Consolidated Benevolent Association (CCBA), Wan Zong Hua (Wu Yue). Wan
bersedia, dengan syarat Ip bisa membuat Bruce menutup sekolah Wing Chun yang ia
dirikan. Menurut Wan dan anggota CCBA lain, tidak seharusnya Bruce mengajarkan
seni bela diri Cina kepada orang Amerika yang telah berlaku rasis terhadap mereka.
Menyusul berikutnya adalah rangkaian konflik yang melibatkan
masalah puteri Wan, Yonah (Vanda Margraf), di sekolah, yang memicu perseteruan
CCBA dengan pihak imigrasi, sampai usaha Hartman Wu (Vanness Wu), anggota
marinir sekaligus murid Bruce Lee, menerapkan Wing Chun sebagai kurikulum
pelatihan yang memancing perselisihan dengan Barton Geddes (Scott Adkins),
atasannya yang rasis.
Seluruh elemen di atas nantinya saling bersinggungan secara begitu
menggelikan. Fokus naskahnya cuma mempertemukan satu petarung dengan petarung
lain, melupakan benih masalah rumit seputar rasisme yang ditabur di awal.
Masyarakat Amerika memang merendahkan masyarakat Cina, namun bukankah sakit
hati Wan dan kawan-kawan berujung melahirkan sikap serupa, termasuk saat melarang
Bruce mengajarkan Wing Chun? Tiada resolusi pasti atas hal ini, meski Ip
Man 4: The Finale jelas menggambarkan masyarakat Cina lebih terhormat
ketimbang Amerika.
Di satu titik, tangan kiri Ip mengalami cedera. Mengetahui itu, di
tengah pertarungan keduanya, Wan memilih hanya memakai satu tangan. Sebaliknya,
Barton malah sengaja mengeksploitasi kelemahan tersebut. Apalagi jajaran aktor
Baratnya memberikan performa menyedihkan layaknya pemain-pemain amatir dalam
film-film pelajar. Hanya Scott Adkins yang sanggup meninggalkan kesan. Bukan
lewat aktingnya tentu saja, melainkan fisik prima serta kemampuan bela diri
luar biasa, yang menjadikan Barton salah satu musuh paling berbahaya di franchise ini,
yang bisa membuat si master Wing Chun berdarah-darah.
Lain cerita kalau membicarakan adegan laga. Wilson Yip sudah
khatam urusan mengkreasi baku hantam over-the-top beroktan
tinggi yang mampu menangkap keseluruhan detail koreografi. Bahkan aksi saling
dorong meja kaca bundar saja menciptakan pemandangan menegangkan. Saya dibuat
menahan napas menyaksikannya, apalagi ketika musik bombastis gubahan Kenji
Kawai yang telah menduduki posisi composer sejak film pertama, memperkuat
intensitas masing-masing adegan, ditambah lagi efek suara pukulan dan tendangan
yang membuat dampak dari tiap serangan terasa nyata.
Ip Man 4: The Finale merupakan perpisahan yang layak
terhadap peran paling ikonik Donnie Yen, yang berbekal kharisma luar biasa,
dapat memancing gemuruh seisi studio hanya dengan menampakkan diri di tengah
medan pertempuran. Yen tidak pernah kehilangan wibawa, sekalipun saat menerima
pukulan. Satu kelebihan Donnie Yen yang jarang dimiliki aktor laga lain adalah
aura hangat dan kelembutan yang menjadikan sosok Ip Man bukan hanya soal otot,
tapi juga hati.
Komentar
Posting Komentar