REFIL (Review Film) : JOKER 2019
Ketika berbicara
tentang Joker, sulit sekali untuk tidak melihat bagaimana besarnya dampak yang
diberikan oleh karakter super-eksentrik ini. Karakter yang tercipta berdasarkan
peranan Conrad Veidt dalam film The Man Who Laughs (1928)
ini memiliki kemahsyuran tersendiri di dunia sinema. Beberapa nama besar
seperti Jack Nicholson dan Heath Ledger pun sukses besar dalam memerankan musuh
Batman ini. Nama terakhir bahkan menangi Oscar, tetapi Ledger diduga merenggut
nyawanya sendiri karena sulitnya tekanan mental untuk memerankan Joker. Beban berat menjadi Joker pun harus ditanggung Jared Leto
dalam film Suicide Squad (2016). Sayangnya, karakterisasi
Joker dalam film ini tidak begitu baik. Sebagian mengecap Leto gagal sebagai
Joker, tetapi masalah utamanya memang bukan aktingnya, tetapi keseluruhan film
itu sendiri.
Tiga tahun berselang dari penampilan Joker dalam dunia
sinema, kini giliran Joaquin Phoenix yang akan memerankan tokoh eksentrik ini.
Kali ini, Joker tidak hanya menjadi tokoh sampingan saja, tetapi menjadi tokoh
utama. Film yang berjudul Joker ini pun tidak mengaitkan
dirinya dengan dunia sinema DC, bahkan sosok Batman pun bisa dikatakan tidak
muncul. Karakter Joker dalam film-film Batman sebelumnya selalu
misterius. Kemunculannya selalu merepotkan kesatria kegelapan tersebut. Dari
sisi gelap Joker yang jarak dikulik dalam sinema itulah yang coba dikonstruksi
oleh Todd Phillips dan Scott Silver dalam film Joker. Tentu,
tantangan ini sangat besar, mengingat karakter ini memang sangat kompleks.
Jika dilihat dari kompleksitas karakter yang dibangun,
penulis skenario ini cukup berhasil. Joker, alter ego dari Arthur Fleck,
memiliki kondisi mental yang cukup rumit. Dirinya selalu tertawa saat emosinya
tidak stabil, terutama saat dirinya panik. Kegilaan ini ditampilkan dengan
sangat brilian oleh Joaquin Phoenix. Cara ia tertawa terasa sangat perih, gaya
tertawanya tidak menunjukkan rasa senang, tetapi rasa sakit mendalam penyebab
dari kondisi kesehatan jiwanya.
Akting brilian Phoenix pun sangat mengangkat film ini. Alunan
emosinya membangun rasa simpati yang besar kepada para penonton. Bisa
dikatakan, film Joker sangat memusatkan dirinya dari akting
Phoenix. Sekitar 90% adegan selalu menampilkan Phoenix sebagai Arthur atau
Joker. Bisa dibilang, inilah salah satu masalah terbesar film ini. Di balik
akting Phoenix yang brilian, ada skenario yang belum bisa maksimal mendukung
gerak-gerik Joker. Film ini dibuka dengan adegan Arthur dipukuli, tanda bahwa
ia menjadi pribadi yang tertindas. Untuk karakter sekaliber Joker, adegan ini
bisa dibilang receh. Kekerasan fisik dengan cara dipukuli beramai-ramai di
gang-gang sempit untuk menunjukkan penindasan dalam dunia perfilman merupakan
cara yang mudah.
Usaha membangun
simpati pada Arthur Fleck, dari awal hingga lebih dari pertengahan film,
memberikan kesan adanya dramatisasi yang berlebih. Sebenarnya, dengan kondisi
mental karakter Arthur saja sudah cukup untuk membangun simpati pada penonton.
Namun, film ini terlalu berusaha keras dalam hal tersebut, narasi film terlalu
memarginalisasi Arthur. Belum lagi skoring yang terkesan tidak perlu. Dalam
beberapa adegan, skoringnya memang ampuh mendukung cerita, tetapi sebagian
besar justru mengganggu dan lagi-lagi terkesan terlalu mendramatisasi.
Kesimpulanya :
Film yang sangat wajib untuk ditonton dikarenakan ktia akan terhanyut ke dalam
film itu sendiri yang merupakan sebuah penjiwaan yang dapat tersalurkan di
setiap adeganya.
Komentar
Posting Komentar