Eradikasi hati
Di pertengahan bulan maret ini, aku teringat pertemuan satu perempuan meskipun hanya mengagumi dari kejauhan. Purnama tercantik yang menggantung di langit keemasan, malam yang amat teduh yang pernah aku dapatkan di sepanjang hidup. Sebuah karya ilmiah remaja yang mempertemukan kita di satu meja, sedikit sapa dan aku dijejali hati dengan penuh pertanyaan „kenapa‟. Terutama tentang kekosongan hati kita masing-masing.
Aku terjebak dalam sebuah nostalgia yang sama pada masa kuliah. Aku ingin berdamai dengan masa lalu, dengan segala yang membuat hatiku semakin rapuh. Merelakan ketidakrelaan paling nyata dalam ketidaknyataan yang pernah aku nyatakan. Tiga tahun sudah sejak kabarmu menghilang entah kemana, aku bertanya kenapa, bahwa sekedar pamit pun kamu enggan. Aku masih saja sibuk mencari tahu kabarmu. Aku rela atas keputusanmu untuk pergi melanjutkan cita-cita mu yang dulu pernah kamu tulis pada kartu nama saat SMA silam. Namun, yang aku tak rela adalah kepada siapa kini aku harus mengalamatkan cinta?
Dikepala ku wajahmu layaknya prasasti, merusaknya hanya akan menyakiti mimpi. Walau sekedar angan tetapi itu merupakan satu-satunya cara menjamahmu dari kejauhan. Sebab memilikimu aku tidak pernah bisa, penolakanmu adalah sehebat-hebatnya kuasa.
Membunuh rasa.
Penuh terpaksa.
Aku tertatih menyeret hati yang tersisa.
Menguap penuh harmoni, satu per satu rinduku melantunkan melodi. Alunan perih dalam suatu kemegahan yang alami. Membawa luka tanpa henti, mengitari hari penuh sesak hingga bahagia tak pernah lahir ke bumi. Begitu ramai tanpa sedikit pun damai, riuh menggema melepuh tak terima.
Menghantam segala bentuk logika.
Penuh menerpa.
Aku terkapar menahan lebam yang begitu merata.
Padahal aku ingin memelukmu seperti rembulan yang kehilangan cahaya nya. Berhamburan bintang di sekitarnya, tetapi kaulah satu-satunya. Tak terhindarkan akan derap kecewa yang berhamburan. Bukan aku yang kau rencanakan, bukan aku yang kau inginkan di masa depan.
Mengertilah tak secepat itu cinta berpindah. Perlahan aku mencoba membuka hati, namun nyata nya memang hatiku tetap mengeja namamu tanpa henti. Begitulah aku kesekian kali untuk mencoba membuka hati namun tetap saja kamu yang tak terganti. Aku tidak akan pernah bisa sedikitpun membohongi hati, munafikkan cinta yang telah Allah beri. Sekali lagi aku amat begitu lirih, kenapa aku diberikan satu rasa dimana nama mu tak akan pernah bisa untuk pergi. Sudah berapa kali aku coba membuka hati dan nyatanya aku gagal lagi. Bahkan jika Allah mengizinkan menghilangkanmu dari hati, aku masih harus bergelut dengan perasaan tentang siapa penggantimu nanti.
Menikam segala langkah.
Perih terasah.
Aku tersayat menimang duka yang bernanah.
Katanya mimpi adalah petunjuk dari apa yang kita alami. Namun aku lelah jika hadirmu hanya dalam mimpi, karena pada kenyataannya kamu acuh meninggalkan aku pergi. Mimpi kita tinggal bualan. Dusta paling nyata untuk diceritakan. Sehingga aku benar-benar ingin berdamai dengan kenangan, seperti adukan kopi mala mini yang tak teringat kala air telah mencampurnya. Aroma yang menggulung ke udara, menenangkan degub jantung akan sebenarnya amarah yang merajalela.
Ternyata.
Tak seindah itu adanya.
Waktu yang paling tahu kapan aku bisa melupakanmu, maaf akan berderet disetiap detak menuju jantung dan hatimu. Bahwa aku masih saja mencintaimu. Aku. Masih. Mencintaimu. Tak bisa dihentikan, hanya Allah yang bisa melakukan dan tentangmu masih utama di perasaan. Terserah apa tanggapan mu tentang ini semua, namun aku tertatih menaruh amanah dalam hati. Terserah komentarmu tentang untaian sajak yang tertulis disini, namun inilah secarik dari sedikit hati berbicara untukmu dari hatiku yang berenang di genangan lara.
Anggap saja ini adalah dosa terbaik untukku, mencintai seseorang yang telah menjadi muara rindu. Aku tahu dan teringat katamu terakhir itu “Karena cinta tidak bisa dipaksakan” , aku tak pernah menuntut kau untuk mencintaiku maka bebaskan aku untuk menaruh rasa padamu, meskipun duka akan menjadi teman ku.
Meletup-letup.
Pintu tertutup.
Aku tersenyum melihat wajahku yang senyum begitu terkatup.
Selamat atas segala apapun yang telah kamu capai sekarang ini. Semoga segala harapan yang terutama pada kartu namamu terwujud. Mungkin aku hanya menyambangimu dalam segala sujudku untuk meminta mimpi yang baik tentang dirimu. Tetapi untuk sekarang dan entah sampai kapan, izinkan aku masih mengucap sayang sampai nantinya berganti usang. Entah menyatu dengan tanah pada pemakaman atau Allah yang merelakan segala bentuk perasaan. Satu hal yang aku takutkan adalah bila akhirnya kau menyadari siapa yang paling mencintai. Pisau tertajam yang akan menyadarkan, robekan paling tidak sopan yang akan menenggelamkanmu dalam tangisan, rengekan terkeji dari kesadaran yang tak akan terelakkan. Sampai bunga mawar tertancap di sebuah batu nisan.
Menusuk hati.
Tepat mengunci.
Bahwa aku mengharap kau tuk kembali.
Aku menunggumu disisi waktu, sampai Allah mengizinkan kita tuk bertemu. Terima kasih atas segalanya, aku tetap bahagia mencintaimu dengan kesendirian dan sabarku adalah tempat mu untuk pulang.
Komentar
Posting Komentar